Di poshkan oleh Yunisa Afiani Pelajar Di IAIN Sunan Kudus
Perbedaan Epistimologi Barat Dan
Epistimologi Timur
A. LATAR BELAKANG
Salah satu cabang filsafat yang
jumlah pembahasannya hampir mencakup isi
keseluruhan filsafat itu sendiri
adalah epistemologi. Sebab, filsafat adalah refleksi, dan setiap refleksi
selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seorang memiliki suatu metafisika,
yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi,
yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi.
Ini dapat dilihat dari cakupan
epistemologi yang meliputi hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode,
validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat,
pertanggungjawaban, dan skope pengetahuan. Jadi, hal ini dapat juga dikatakan
bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana
memperolehnya.
Diskursus tentang epistemologi
dikalangan para intelektual Islam maupun Barat pada abad modern ini, seiring
lajunya perkembangan science di Barat, menjadi daya tarik tersendiri untuk
dikaji dan dikupas tuntas. Sebab, hal ini memunculkan polemik radikal di kalangan
mereka tentang, apakah ilmu itu bebas nilai (free value) atau sarat dengan
nilai (by product) ?. Pangkal utama polemik tersebut adalah teori ilmu yang
berkembang menunjukkan telah terjadi perceraian antara ilmu dan agama.
Fakta yang terjadi yaitu, ilmu yang
berkembang di Barat telah mengakibatkan munculnya berbagai aliran
pemikiran/ideologi yang menentang agama Kristen dan Yahudi yang dominan di
Barat. Sebagai dampaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Leopold Weis bahwa
‘Barat tidaklah menentang Tuhan secara sewenang-wenang dan terang-terangan,
akan tetapi jika dilihat dalam cara berfikirnya sedikitpun tidak menunjukkan
bahwa mereka butuh akan Tuhan ataupun tahu akan nilai Tuhan yang sebenarnya’.
Cara berfikir seperti ini kemudian
dikembangkan oleh banyak intelektual muslim di dunia Islam dalam mengkaji Islam
dengan pisau analisa epistemologi Barat yang cendrung menafikan yang
transenden. Mengapa hal itu terjadi ?, sebab bagi mereka, Barat sebagai lambang
kemajuan ilmu pengetahuan (science dan teknology) di abad ini. Jadi, menurut
mereka kalau ingin maju, maka tirulah Barat dengan mengadopsi segala apa yang
dari Barat, termasuk dalam persoalan memahami agama. Meski demikian, ada
sebagian dari kalangan intelektual Islam yang masih tetap komitmen untuk tetap
berpegang pada prinsip-prinsip epistemologi Islam serta melakukan pengembangan
dengan prinsip-prinsip tersebut.
Berdasarkan fakta dan data yang
telah kami paparkan di atas, hal itu menunjukkan bahwa epistemologi Barat
memang problematik. Ini terbukti melalui prinsip-prinsip epistemologi Barat
yang berdasarkan kepada worldview mereka yang jauh dari nilai-nilai Agama.
Sehingga ilmu yang berkembang di Barat adalah ilmu-ilmu yang jauh dari
moralitas, hanya berorientasi pada aspek fisik dan menafikan yang metafisik.
Untuk
itu, makalah ini akan mencoba untuk mengurai permasalahan yang berkaitan dengan
epistemologi yang akan difokuskan pada prinsip-prinsip epistemologis yang
meliputi makna ilmu, objek pengetahuan, sumber pengetahuan, validitas ilmu,
serta cara-cara mendapatkan dan mengamalkan setiap ilmu itu dengan benar. Sebelum mengupas tuntas masalah yang
terkait dengan prinsip-prinsip epistemologi Islam dan Barat, terlebih dahulu
akan dibahas mengenai epistemologi itu sendiri sebagai bagian dari cabang
filsafat. Sehingga diharapkan akan mendapatkan pemahaman yang holistik.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ahli ilmu bahwa seseorang tidak akan
memahami sesuatu hal yang spesifik, jika belum mamahami sesuatu yang bersifat
umum. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan diurai mengenai definisi, objek,
tujuan, landasan, metode/metodologi, hakikat dan pengaruh epistemologi.
A. EPISTEMOLOGI
1. Definisi
Epistemologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang
berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas
masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary,
epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or
science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its
limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu
pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang
berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya
pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub
sistem dari filsafat, yang sering dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi.
Ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan mulai dari ontologi,
epistemologi kemudian aksiologi. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan
bahwa; ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara
memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan
suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
Keterkaitan ini membuktikan betapa
sulitnya untuk menyatakan salah satu yang lebih penting dari yang lain, karena
ketiga sub ini memiliki fungsi masing-masing yang berurutan dalam mekanisme
pemikiran. Namun apabila kita membahas lebih jauh mengenai epistemologi, kita
akan menemukan betapa pentingnya epistemologi.
Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F.
Ferrier pada tahun 1854. Sebagai sub filsafat, epistemologi ternyata menyimpan
“misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian
epistemologi ini, cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki
sudut pandang yang berbeda dalam mengungkapkannya. Sehingga didapat pengertian
yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya melainkan juga pada subtansi
persoalan, yang menjadi sentral dalam memahami pengertian suatu konsep.
B. EPISTEMOLOGI BARAT
Barat sekarang ini telah mencapai
kemajuan yang begitu pesat, berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan
Barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Barat dianggap mempu menyajikan bebagai temuan baru secara dinamis dan varian,
sehingga memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan teknologi modern.
Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi
wilayahnya, melainkan disamping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan
gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya.
“Kunci rahasia” yang perlu diungkap
adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan sains dan
epistemologinya. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuwan Barat benar-benar
dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi.
Tradisi untuk menawarkan teori-teori ilmiah yang dibangun berdasarkan penalaran
dan pengamatan tampak begitu subur dikalangan mereka sehingga menghasilkan
temuan baru yang silih berganti, baik bersifat menyempurnakan temuan yang lama,
temuan baru, bahkan menentang temuan lama sama sekali.
Epistemologi yang dikembangkan
ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran ilmuwan di seluruh dunia
seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi mereka.
Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan di
masing-masing Negara, sehingga secara praktis mereka terbaratkan; pola
pikirnya, pijakan berfikirnya, metode berfikirnya, caranya mempersepsi terhadap
pengetahun, dan sebagainya, mengikuti gaya Barat, baik sadar maupun tidak
disadari.
Oleh karena sangat dominannya
epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim dan seluruh penduduk dunia ini
dibentuk oleh pemikiran manusia Barat. Dalam waktu yang bersamaan mereka tidak
lagi mau mempertimbangkan epistemologi versi lain, dalam mencari pengetahuan.
Epistemologi versi lain dianggap tidak berkualitas dan belum teruji
keandalannya dalam memberikan jawaban-jawaban, yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Pada bahasan
berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai akar dari tradisi ilmu
Barat secara historis, sehingga dapat diketahui dan dipahami asal usul dari
kebudayaan dan peradaban Barat yang dibangun di atas kemajuan sains dan
teknologi. Selanjutnya
dari pengetahuan akan tradisi ilmu Barat tersebut, dapat pula diketahui
bangunan dari epistemologi Barat serta prinsip-prinsip yang mendasarinya
sebagai pangkal pengembangan sains dan teknologi.
1. Tradisi Ilmu Barat
Memaknai
Barat tidak lagi relevan jika dilihat dari perspektif geografis, yang
menunjukkan suatu entitas wilayah, daerah atau kawasan yang berada di belahan
bumi bagian Barat. Sebab,
Barat saat ini berada dalam sebuah struktur konseptual pandangan hidup yang
membawa makna yang kompleks dan terkadang kontroversial. Saat ini barat
bermakna alam pikiran dan pandangan hidup dari suatu kebudayaan dan peradaban.
Jadi dari kaca mata peradaban, Barat adalah peradaban yang dibentuk dan
dibangun oleh pandangan hidupnya sendiri .
Sebuah kebudayaan atau peradaban
memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Pada umumnya
sejarah Barat membagi
sejarah Barat menjadi zaman kuno, zaman pertengahan, dan zaman modern. Para
sejarawan Barat berbeda pendapat mengenai asal usul kebudayaan mereka.
Perbedaan itu meruncing ketika sejarawan berpegang pada ilmu sebagai akar
kebudayaan. Artinya sebuah kebudayaan atau peradaban akan lahir dan berkembang
seiring dengan perkembangan konsep-konsep keilmuan didalamnya. Sebab faktor
keilmuan inilah sebenarnya yang melahirkan aktivitas sosial, politik, ekonomi dan
aktivitas kultural lainnya.
Akan tetapi secara historis Barat
adalah merupakan suatu peradaban yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa
dari peradaban Yunani kuno yang dikawinkan dengan peradaban Romawi, dan
disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropa terutamanya Jerman,
Inggris dan perancis. Prinsip-prinsip rmengenai ketatanegaraan diambil dari
Romawi, sementara Agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan
budaya Barat.
2. Pendekatan Keilmuan Barat
Pemaparan mengenai epistemologi
Barat menujukkan konsep ilmu dalam peradaban Barat hampa dari Agama. Ilmu yang kosong
dari Agama merupakan fondasi utama dari
peradaban Barat saat ini. Dengan berdasarkan uraian di atas bahwa epistemologi
Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau
usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya
sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti yang
disimpulakan oleh al Attas epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran,
apalagi hakekat kebenaran itu sendiri.
Ziauddin Sardar menyatakan, adanya perbedaan
antara yang subjektif dan objektif, antara pengamat dan dunia luar (yang
diamati), antara keadaan-keadaan subjektif serta emosi dan “realitas” yang
terdapat di luar pengamat, yakni realitas yang hanya dapat diketahui melalui
observasi dan penalaran, maka dapat disebutkan bahwa pendekatan epistemologi
Barat itu adalah skeptis, rasional-empiris, dikotomik, posotivis-objektivis,
dan menentang dimensi spiritual (antimetafisika).
3. Tokoh Pemikir Barat
Paul Johnson, jurnalis dan sejarawan
Kristen konservatif dalam bukunya Intellectuals telah membongkar perilaku
menyimpang para pemikir besar Barat sebagai produk dari epistemologi Barat yang
hampa dari agama dan moralitas. Adalah Ernest Hemingway seorang sastrawan yang
memeiliki daya serap publik lebih besar dengan karyanya yang bertumpuk-tumpuk,
mulai dari Three Stories & Ten Poems karya pertamanya yang banyak penerbit
menolaknya sampai akhirnya Old Man and The Sea karyanya yang fenomenal dan
karya terakhirnya True At First Light yang lahir di tahun yang
sama dengan
kematiannya, 1999.
Jutaan orang
telah menjadikannya idola, penganut dan pengikutnya. Namun di balik
ketenarannya tersebut tersimpan suatu perilaku kedustaan/kebohongan, sikap
ateis dalam diri Hamingway. Paul Johnson mendeskripsikan kemampuan Ernest Hemingway dalam
berbohong dengan kalimat yang indah. “He thought, and sometimes boasted, that
lying was part of his training as a writer. He lied both conciously and without
thinking”. Sedangkan menurut kesaksian dari istrinya Hadley sebagaimana yang
dikutip Johnson bahwa seumur hidupnya sang sastrawan hanya dua kali ia temui
berlutut di depan altar. Pertama, saat mereka menikah. Dan yang kedua,
sekaligus yang terakhir, saat anak mereka dibaptis di dalam gereja.
Jean Jacques Rousseau yang diberi
julukan sebagai An Interesting Madman dalam kurun waktu 200 tahun terakhir,
menjadi nama besar yang mempengaruhi semua teori pemikiran sekuler dan
intelektual modern. Bahkan tidak lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara,
sebab teori-teori kenegaraan modern, banyak yang lahir dari pemikirannya.
Seperti teori perwakilan politik yang saat ini hampir menjadi model negara di
seluruh dunia, bisa dilacak dalam jejak pemikirannya dalam bukunya, Du Contrack
Sociale.
Tapi siapa sangka, Rousseau adalah
laki-laki gila dalam definisi yang sebenarnya menurut Paul Johnson. Ia
laki-laki yang begitu mencintai dirinya, lebih dari apapun. Dalam bahasanya
senidiri Rousseau menyebut dirinya amour de soi, natural selfishness. Saking
cintanya pada diri sendiri, ia bahkan tak peduli dan membuang semua
anak-anaknya ke foundling home, sebutan untuk sebuah rumah penampungan
anak-anak yang tidak diketahui orang tuanya. Ini sangat bertolak belakang
dengan nilai-nilai luhur, juga tentang anak-anak, yang ia tulis dalam sebuah
buku yang telah menjadi teks klasik, Emile.
Jadi, apa sebenarnya arti
intelektual bagi dunia modern, jika para pencetus dan peletak pondasi
intelektual, menjadi orang-orang pertama yang mengingkari pemikirannya sendiri
? Bukankah hasil dari pemikiran dan out put dari intelektual adalah proses
perbaikan perilaku dan moral ? Apakah mungkin dipisahkan antara konsepsi ideal
sebuah pemikiran dengan tata cara hidup para pemikirannya ? Jika demikian,
benarlah pepatah tua yang mengatakan hidup ini hanya panggung opera besar yang
tak pernah habis ceritanya. Tal layaknya seperti panggung, para pemain kerap
kali memiliki peran ganda, bahkan mungkin lebih, dalam hidupnya. Dan
masing-masing saling membantah peran lainnya.
C. EPISTEMOLOGI ISLAM
Pembahasan epistemologi Islam sangat
penting untuk dibahas, sebab problem mendasar dalam pemikiran Islam terletak
pada epistemologinya. Gagasan epistemologi Islam itu brtujuan untuk memberikan
ruang gerak bagi umat muslim pada khususnya, agar bisa keluar dari belenggu
pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemologi
Barat. Dikalangan pemikir muslim menawarkan “segala sesuatu” berdasarkan
epistemologi Islam. Di dalam Islam epistemologi berkaitan erat dengan
metafisika dasar Islam yang terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadist, akal,
dan intuisi.
Kalaulah
disepakati, bahwa peradaban Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak brbasiskan
ilmu pengetahuan, maka membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris
lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu dalam Islam adalah persyaratan
untuk menguasai dunia dan akhirat. Menegakkan bangunan ilmu maksudnya tidak
lain adalah untuk mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusianya agar
sejalan dengan prinsip-prisip ilmu pengetahuan dalam Islam.
Salah
satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah wahyu Tuhan ditempatkan di atas
rasio. Wahyu memperoleh kedudukan yang paling tinggi dalam upaya mengembangkan
ilmu pengetahuan Islam, sehingga wahyu dijadikan sebagai sumbet kebenaran
mutlak suatu kebenaran. Jadi rusaknya keberagamaan umat Islam lebih karena
rusaknya pemikiran dan hancurnya peradaban Islam karena hancurnya bangunan ilmu
pengetahuan.
1. Tradisi Ilmu Islam
Pada 1400 tahun
atau 14 abad yang lampau, telah lahir seorang Maha Guru, guru dari sekalian
manusia, yang membawa manusia dari lembah kegelapan, kenistaan menuju suatu
puncak kegemilangan yang penuh dengan cahaya keridhaan. Adalah Muhammad bin Abdillah
dilahirkan di kawasan padang pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban
kala itu: Persia dan Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi
sekaligus Rasul. Tugas baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu
bukanlah tugas yang ringan, namun sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas
itu adalah menyampaikan risalah tauhid kepada seluruh ummat manusia di penjuru
dunia.
Dalam waktu ±
23 tahun, setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan sepanjang
dakwah risalah, Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan kehidupan di
mana siapa saja yang berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya. Hal itu ditandai dengan lahirnya
sebuah kota yaitu Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan. Kemudian Kota
tersebut bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu negara (state) atau peradaban
(civilization).
Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu
peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting antara lain 1)
kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, 2)
kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan 3)
kesanggupan berjuang untuk hidup. Ketiga elemen tersebut telah mewujud di
Madinah kala itu. Berdasarkan teori Ibnul Khaldun tersebut Madinah sudah bisa
dikatan sebagai sebuah peradaban. Dari Madinah-lah kebangkitan Peradaban Islam
berawal dan berkembang.
Peradaban Islam di mulai dengan
tradisi ilmu atau tafaqquh fid din secara terus menerus. Mulai dari turunnya
wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. proses interaksi dan ideasi antar individu dan
masyarakat senantiasa didasarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu tidak hanya
dalam pikiran semata akan tetapi mewujud dalam sebuah aktifitas, baik berupa
amal infiradi maupun amal jama’i. Dari sinilah lahir komunitas ilmiah yang mana
oleh sebagian ahli sejarah disebut Ahlus Suffah.
Di lembaga pendidikan pertama inilah
kandungan wahyu dan hadist-hadist Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar
yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap
berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak
dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang
Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan
Barat (the cradle of western civilization).
Hasil dari
kegiatan ini memunculkan alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadist Nabi,
seperti Abu Hurairah, Abu Dhar Al Ghifari, Salman Al Farisy, Abdullah ibn
Mas’ud dan lain-lain. Ribuan
hadist telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini. Kegiatan pengkajian
wahyu dan hadist kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk
lain.
Tidak lebih
dari dua abad lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam berbagai
bidang studi keagamaan, seperti Qadi Surayh (w.80 H/699 M), Muhammad ibn al
Hanafiyah (w.81 H/700 M), Umar ibn Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih
(w. 110,114 H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M), Ja’far al Shadiq (w.
148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf
(w.182/799), al Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.
ke-17.
2. Pendekatan Keilmuan Islam
Konstruk epistemologi Islam dibangun
di atas landasan wahyu, sehingga bersifat tawhidy. Konsep ketuhanan menjadi
sentral utama dari pembahasan epistemologi Islam. Dengan kata lain, dalam
Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang
telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan
intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman
(tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen
(thawabit) dan dinamis (mutaghayyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar
(mutashabih), yang asasi (usul) dan yang tidak (furu’).
3. Tokoh Pemikir Islam
Dalam Islam, seorang yang memiliki
pengetahuan yang luas dan dalam, serta kesalehan pribadi yang tinggi
mendapatkan predikat kehormatan yang berkualitas super atau bisa dikatakan
super excellent di sisi manusia dan di sisi Tuhannya yang Maha Menciptkan.
Pribadi tersebut diistilahkan dengan ‘Ulama’. Seorang tidaklah dikatakan orang
yang pandai jikalau ia belum mengamalkan ilmunya. Artinya tidak tercermin dalam
setiap kepribadiannya sebagai seorang yang ahli ilmu.
Adalah Malik bin Anas (180 H/796 M),
seorang ulama ahli hadist periode awal yang menetap di Madinah. Sufyan bin
Uyaynah menyebut Imam Malik sayyid al muslimun, sayyid ahl madinah. Ia juga
mengibaratkan Imam Malik sebagai lampu penerang, hujjah di masanya. Ketika
Malik wafat ia berkata, “Tidak ada orang seperti dia, tidak tertinggal di bumi
ini orang seperti dia”. Imam Syafi’i mengatakan, “Apabila kamu menerima athar
dari Malik maka pegangilah kuat. “Ini menunjukkan kualitas pribadi dan
intelektual Imam Malik”.
Kualitas
intelektual dan pribadi Malik menjadikannya Imam yang diikuti oleh umatnya,
maka dikemudian hari dikenallah dalam dunia Islam sebuah madzhab yang
disandarkan kepada Imam ahl al madinah. Madzhab Maliky didasarkan pada al Qur’an, Hadist, Ijma’,
Qiyas dan tradisi masyarakat Madinah, terutama tradisi para imamnya. Ia
terkadang menolak suatu hadith yang bertentangan dengan tradisi Madinah. Selain
itu, Maliky menggunakan dasar mursalah-mursalah, misal hukum memukul tertuduh
pencurian agar ia mengaku.
Malik bin Anas adalah salah seorang
dari sekian banyak Ulama yang dilahirkan dari produk tradisi ilmu Islam yang
berlandaskan kepada pandangan hidup Islam yang berakar pada kajian metafisika.
Para Ulama sekaliber Malik bin Anas baik sebelum dan sesudahnya merupakan bukti
nyata akan kekuatan tradisi Islam semenjak kemunculannya sebagai sebuah agama
dan peradaban dalam sepanjang sejarahnya samapai detik hari ini. Epistemologi
Islam sebagai sebuah bangunan keilmuan yang menjadi pijakan utama dalam
melakukan pengembangan keilmuan telah terbukti kecanggihannya yang tidak perlu
lagi diragukan, apalagi didekonstruksi dengan digantikannya dengan epestemologi
lain.
D. PERBEDAAN EPISTIMOLOGI BARAT DAN ISLAM
Epistemologi yang juga disebut
dengan Teori Ilmu menempati ruang yang sangat urgen di dalam pengembangan
kemajuan sebuah kebudayaan bangsa atau peradaban. Setiap peradaban dibangun
oleh epistemologinya masing-masing dengan berdasarkan kepada pandangan hidup
(worldview) dari peradaban tersebut. Sebab, epistemologi berkaitan erat dengan
worldview. Jadi, setiap peradaban memiliki epistemologi yang berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya, tak terkecuali antara epistemologi Islam dan
Barat. Yang tentunya juga secara spesifik memiliki prinsip-prinsip yang berbeda
pula.
Adapun
prinsip-prinsip dari keduanya dapat dibedakan dari beberapa aspek yang mana
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Epistemologi Islam
|
Epistemologi Barat
|
Didasarkan kepada kejian
metafisika
|
Didasarkan kepada praduga-praduga
|
Sumber kepada wahyu, akal sehat,
panca indra dan intuisi
|
Sumber hanya kepada akal (rasio)
dan data/fakta empiris
|
Pendekatannya bersifat tawhidy
|
Pendekatannya bersifat dikothomi
|
Objeknya fisik dan sekaligus
metafisik
|
Objeknya fisik, observable &
penalaran
|
Ilmu syarat dengan nilai (value
full)
|
Ilmu bebas nilai (free value)
|
Validitas kebenaran konteks (data
& fakta) diselaraskan dengan teks (wahyu)
|
Validitas kebenarannya hanya
bertumpu kepada rasio-empiris
|
Berorientasi dunia dan akherat
|
Berorientasi kepada dunia semata
|
Dari
sini dapatlah dipahami akan perbedaan dari keduanya yang sangat jelas sebagai
konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai elemen yang paling
mendasar dari keduanya yaitu Islam dan Barat. Selain itu, uraian singkat dalam
makalah ini juga dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa substansi epistemologi
tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh para ilmuan kontemporer yang bertumpu
pada metode ilmiah, akan tetapi lebih dalam lagi yaitu epistemological belief
yang terakumulasi dalam pikiran setiap orang yang kemudian menentukan corak
dari epistemologinya masing-masing. Wallahu A’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin, Islamisasi Ilmu Konsep dan Epistemologi, Malang: Islamic thought
and Civilization (ICON) forum, 2008.
Arifin, M, filsafat pendidikan islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Armas, Adnin, Diktat Matakuliah : Dewesternisasi Dan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan, Disampaikan pada kuliah Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun
2007.
Zarkasyi,Hamid Fahmi, Membangun Peradaban Islam Kembali, Makalah disampaikan
dalam workshop pemikiran ideologis Forum Ukhuwah Islamiyah daerah Istimewa
Yogyakarta 15 April 2007.
__________________, dkk, Tantangan Sekularisasi Dan Liberalisasi Di Dunia
Islam, Jakarta: Khairul Bayan, 2004.
__________________, Leberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Misionaris,
Orientalis, dan kolonialis), Ponorogo: Center For Islamic and Occidental
Studies, 2007.
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik, Jakarta: ERLANGGA, 2005.
Sholihin,M, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi
Sekular-Liberal (Jakarta: GEMA INSANI,2005.
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi,
Jakarta: Gema Insani, 2006.
Handono, Irena, Menyingkap Fitnah Dan Teror, Bekasi: GERBANG PUBLISHING, 2008.
Husaini, Adian, Virus Liberalisme Di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 2009.
Pranaka, A.M.W, Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008.
Muhammad Al-Naquib Al-Attas, syed, Dilema Kaum Muslimin, Surabaya: PT. Bina
Ilmu,1986.
Suriasumantri, Suria.S, Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, Bandung: Mizan,
1991.
Suriasumantri, Jujun.S, Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan,1990.
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Tim Dosen, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003.
Jurnal Islamia Vol. III No.2, Melacak Akar Peradaban Barat, Jakarta Selatan:
Khairul Bayan, 2007.
Jurnal Islamia Thn I No 6, Membangun Peradaban Islam Dari Dewesternisasi Kepada
Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2005.
Jurnal Islamia Thn II No 5, Epistemologi Islam & Problem Pemikiran Muslim
Kontemporer , Jakarta Selatan: Khairul Bayan,2005.
Jurnal Islamia vol.III.No.3, Wajah Universitas Islam, Jakarta Selatan: Khairul
Bayan, 2008.
Husaeni, Adian, Dari Tradisi Ilmu Ke Peradaban Islam, Catatan untuk 5 Tahun
INSIST sebagai dimuat dalam Catatan Akhir Pekan Di www. Hidayatullah.com